Krisis Ekonomi Parah yang Dialami Inggris

Krisis Ekonomi Parah yang Dialami Inggris – Saat ini, banyak negara sedang mengalami masalah ekonomi dengan skala yang cukup besar. Ini tidak saja menimpa negara-negara kecil atau negara berkembang saja, tapi negara maju pun justru banyak juga yang menerima hantaman keras atas situasi ekonomi global yang ada saat ini. Ditambah lagi, 2023 diprediksi akan terjadi kondisi ekonomi yang lebih parah dengan resesi yang cukup tinggi. Indonesia masih cukup bisa bernafas lega saat ini karena ekonomi Indoenesia tidak terlalu terpuruk dengan ekonomi global yang ada saat ini. Ini lain ceritanya dengan Inggris. Negara maju di Benua Biru ini sat ini mengalami situasi ekonomi yang sangat parah, dan menjadi salah satu yang terburuk sepanjang sejarah Inggris.

Salah satu penyebab dari merosotnya kondisi ekonomi Inggris adalah tingginya harga untuk banyak bahan kebutuhan pokok. Harga-harga kebutuhan pokok mengalami peningkatan yang sangat besar. Ini diperparah pula dengan konflik Rusia dan Ukraina yang terus berkepenjangan dan masih belum menemukan titik temunya. Inggris pun sekarang ini sudah berada di ambang resesi yang cukup parah.

Krisis biaya hidup memang menjadi situasi nyata di Inggris saat ini. Banyak lapisan masyarakat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar karena harga-harga yang terus meningkat melebihi ambang batas normal yang ada. Banyak warga yang saat ini dilaporkan memutuskan untuk mengurangi konsumsi atau porsi makan mereka sehari-hari untuk menekan biaya pengeluaran untuk membeli kebutuhan pokok. Selain itu, semakin banyak orang yang kemudian memilih dan memutuskan untuk menjadi pekerja seks komersial agar bisa mendapatkan penghasilan lebih besar sekedar guna mencukupi pembayaran dan pembelian BBM ataupun pembayaran tagihan listrik. Kondisi ini tentu sangat parah dan ini cukup menggambarkan betapa Inggris saat ini sedang mengalami hantaman besar di bidang finansial secara nasional. Ini dibuktikan pula dengan laporan dari Kantor Statistik Nasional atau ONS. ONS melaporkan bahwa laju perekonomian dari Inggris saat ini mengalami penurunan sebesar 0,3%. Penurunan ini tercatat pada bulan Agustus 2022. Kondisi ini barangkali tidak terlihat parah tapi ini sudah ada di bawah ekspektasi pasar yang ada. Ditambah lagi, pertumbuhan ekonomi di bulan Juli mengalami penurunan sebesar 0,1%.

Catatan yang ada itu semakin diperparah dengan laporan inflasi yang dialami oleh Inggris di bulan Agustus lalu. Pada bulan Agustus 2022, inflasinya tercatat mencapai 9,9%. Angka ini sangat tinggi dan mendekati rekor baru dalam sejarah 40 tahun terakhir di perekonomian Inggris. Situasi diperburuk dengan menurunnya produksi dari gas dan minyak. Inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor lain yang menyebabkan tingginya harga bahan bakar minyak di Inggris. Selain itu,ada beberapa hal yang bisa menjadi fakta betapa parahnya ekonomi Inggris saat ini.

Yang pertama adalah fakta terkait pemecatan dari Menteri Keuangan Inggris. Liz Truss selaku Perdana Menteri Inggris memang baru saja melakukan pemecatan terhadap Menteri Keuangan Inggris. Kwasi Kwarteng dipecat pada hari Jumat lalu. Mantan menteri itupun secara langsung menyatakan pemecatannya secara resmi melalui media sosial yang dia miliki. Pemecatan ini memang terjadi ketika Inggris sedang mengalami situasi ekonomi yang sangat genting. Ancaman resesi hingga tingginya harga bahan kebutuhan membuat pemerintah melakukan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Bahkan, ada wacana pemotongan tarif pajak penghasilan. Pada September lalu, Kwarteng dan juga Truss sebenarnya sudah menyampaikan kebijakan dan strategi untuk meningkatkan situasi ekonomi yang ada. Namun, itu tidak lantas memperbaiki situasi yang ada sehingga Kwarteng pun dipecat padahal baru menjabat dalam durasi kurang dari dua bulan.

Lalu, muncul laporan juga dari karyawan yang menuntut kenaikan upah. Hal ini bukan hal yang aneh untuk terjadi ketika daya beli masyarakat menurun karena tingginya harga kebutuhan pokok saat ini. Salah satu karyawan yang menuntut naiknya gaji atau upah tersebut adalah karyawan pos. Setidaknya ada 115 karyawan atau pegawai dari Royal Mail di Inggris yang menggelar aksi menuntut kenaikan upah. Karyawan ini melakukan mogok kerja sejak hari Kamis (13/10) yang lalu. Aksi mogok kerja ini direncanakan akan dilakukan hingga durasi 19 hari. Durasi ini dipilih karena itu akan bertepatan dengan event Black Friday dan juga Cyber Monday. Di dua hari spesial ini, bisa dipastikan bahwa akan terjadi lonjakan belanja sehingga tentu pegawai pos akan cukup dibutuhkan di momentum tersebut. Sebenarnya, pegawai pos ini bukan satu-satunya kelompok yang melakukan aksi mogok kerja. Staff kereta api, pengacara, hingga sopir bus pun melakukan hal serupa.

Masih terkait dengan Royal Mail, ada pernyataan cukup mengejutkan. Pernyataan ini mengebutkan bahwa diperkirakan akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK tahun depan. PHK ini cukup besar angkanya karena Royal Mail memprediksi bahwa akan ada PHK terhadap lima ribu hingga enam ribu pegawai pos tersebut. Ini direncanakan terjadi pada bulan Agustus tahun depan. Salah satu penyebab utamanya adalah terjadinya perselisihan antara Royal Mail dengan serikat pekerja. Dengan kata lain, ini menjadi suatu bentuk tanggapan serta ancaman dari pihak Royal Mail. Selain itu, perusahaan ini pun mengalami kerugian besar. Salah satunya di semester pertama saja, Royal Mail sudah mengalami kerugian hingga 219 juat poundsterling. Angka ini tentu cukup besar sehingga efisiensi pegawai perlu dilakukan.

Tingginya harga bahan bakar memang terkait dengan konflik di Rusia dan Ukraina. Dua negara ini masih mengalami konflik dan sudah hampir berjalan satu tahun. Padahal, Rusia menjadi salah satu negara penyedia gas cair di banyak negara, termasuk Inggris. Karena konflik yang ada, Rusia membatasi ekspor gas alamnya. Karena itu, biaya hidup menjadi sangat tinggi karena langkanya gas alam yang masuk ke Inggris.